Seorang lelaki gemuk, bertelanjang dada, berdiri.
Matanya melotot. Ia mengayunkan tinjunya ke wajah Murwad, namun Murwad
mampu menghindar.
Selalu setiap hari, Sumbi menyiapkan bubur gula
jawa kesukaan Murwad, suaminya. Bubur itu ia buat sendiri, dari beras
terbaik—rojo lele—yang dicampur santan kelapa kental, sedikit garam dan
ditaburi gerusan gula jawa. Setiap menyajikan bubur itu, mulut Sumbi
selalu mengucap doa untuk keselamatan Murwad yang hingga kini belum
pulang.
Sejak Pasar Kliwon terbakar, keberadaan Murwad tidak
jelas. Ada yang mengatakan, Murwad tewas terbakar. Tubuhnya mengabu.
Arwahnya gentayangan. Seorang bakul sayuran mengaku melihat Murwad
berjalan melayang di antara los-los dan selasar pasar.
”Wajahnya ringsek! Kasihan sekali. Aku tidak tega melihatnya,” ujar bakul sayuran itu dengan wajah pucat.
Pengakuan itu segera menyebar ke seantero pasar. Umumnya orang-orang percaya, Murwad telah tewas.
Namun,
Sumbi yakin, suaminya itu masih hidup. Dia pasti pulang. Entah kapan.
Sumbi berusaha mengulur-ulur harapan itu dengan selalu menyajikan bubur
gula jawa buat Murwad. Di hamparan bubur hangat itu, terbayang wajah
Murwad. Tersenyum. Dada Sumbi terasa mengembang.
Murwad
mengayun-ayunkan sapunya. Menghalau belasan pasangan yang sedang asyik
masyuk bercinta di sela-sela los pasar. Bangku-bangku dipukulinya. Kursi
dan dingklik dilemparkannya. Suara gaduh menjelang subuh itu membuat
beberapa pasangan kaget. Mereka bergegas bangun. Langsung berlarian. Ada
yang setengah telanjang.
Beberapa pasangan masih bertahan. Ada yang masih berangkulan. Bahkan nekat bercumbu.
”Ayo minggat! Minggat!” seru Murwad sambil mengacung-acungkan sapu lidi yang bertangkai panjang, bagai mengacungkan senapan.
Seorang
lelaki gemuk, bertelanjang dada, berdiri. Matanya melotot. Ia
mengayunkan tinjunya ke wajah Murwad, namun Murwad mampu menghindar.
Murwad memukul kepala laki-laki itu dengan tangkai sapu. Laki-laki itu
sempoyongan. Jatuh.
”Enak saja bercinta di pasar! Kalau tidak kuat nyewa losmen, ya cari kuburan!” Murwad meradang.
Laki-laki
itu kembali menyerang dengan pukulan, namun hantaman sapu Murwad lebih
cepat mendarat di kepalanya. Laki-laki itu pun kabur. Diikuti
pasangannya.
Murwad, dengan wajah keruh, memunguti
lembaran-lembaran koran, botol minuman beralkohol, bungkus jamu kuat
lelaki, kondom, dan tikar jebol. Pekerjaan ini telah ia lakukan berulang
kali, setiap menjelang subuh tiba.
”Dasar sundal! Kalian telah mengotori pasar. Gara-gara ulah kalian, pasar jadi sepi. Bakul-bakul bangkrut. Awas, jika kalian masih berani bercinta di sini!” Murwad berteriak-teriak. Suaranya diserap dinding-dinding pasar.
Mendadak
terdengar suara ledakan. Sangat keras. Muncul percikan-percikan api.
Makin lama makin membesar. Menjilat-jilat. Api itu terus menjalar
membakar apa saja. Murwad berlari pontang-panting. Ia berusaha
meloloskan diri dari kepungan api. Tubuhnya menjelma bayang-bayang.
Tubuh
Murwad melayang memasuki lapisan-lapisan ruang. Ketika tubuh itu hendak
jatuh, mendadak ada tangan yang terulur dan menangkapnya. Murwad kaget.
Namun, sang penolong itu membujuknya untuk tenang lewat senyuman.
”Eyang ini siapa?”
”Namaku Ki Dono Driyah.”
”Kenapa Eyang menyelamatkan saya?”
Laki-laki sepuh itu tersenyum.
”Di mana saya?”
”Ruang awung-uwung. Tempat istirah jiwa-jiwa sebelum meneruskan perjalanan menuju Jagat Kelanggengan.”
”Jadi saya sudah mati?”
”Jantungmu masih berdetak. Rabalah....”
Murwad meraba dadanya. Ia masih merasakan degup jantungnya.
”Saya masih bisa pulang?”
”Bisa. Kapan saja. Sekarang?”
”Saya masih ingin di sini. Ruang ini sangat sejuk. Indah. Terang.”
”Seluruh dinding ruang ini adalah cahaya....”
Eyang
Dono Driyah bercerita. Dulu dialah yang merintis berdirinya Pasar
Kliwon hingga berkembang menjadi besar. Sebelum memulai kehidupan pasar
itu, Eyang Dono bertapa selama 40 hari untuk mendapatkan wahyu pasar.
”Tuhan
mengabulkan permohonanku. Wahyu itu hadir, berpendar-pendar di atas
pasar itu. Dalam pendaran itu, Tuhan menaburkan rezeki,” ujar Ki Dono
Driyah.
”Sekarang, wahyu itu masih ada, Eyang?”
Eyang Dono Driyah menatap wajah Murwad. Lalu, menggeleng.
”Kenapa?”
”Aku
tidak tahu persis. Tapi, sejak pasar itu dihuni Genderuwo, suasana jadi
aneh. Gerah. Genderuwo itu selalu meniupkan hawa panas dalam setiap
aliran darah, hingga orang-orang saling membunuh.”
”Tapi di pasar itu, saya tidak pernah melihat perkelahian atau mayat-mayat....”
”Karena kamu tidak melihatnya dengan mata batin.”
”Bagaimana wujud Genderuwo itu?”
”Tinggi
dan besarnya tak bisa dibayangkan. Tubuhnya berbulu hitam. Kasar. Kuku
kaki dan tangannya sangat panjang. Matanya hijau. Bola matanya sangat
besar, sepuluh kali lipat dari danau. Tubuhnya bisa berubah menjadi apa
saja. Angin. Api. Udara. Dia hadir di mana saja, di setiap belahan
dunia. Di setiap hati manusia.”
”Saya ingin melihatnya. Bisakah Eyang membantu?”
”Kamu belum siap. Kamu masih kamanungsan. Kamu mesti membebaskan diri dari hasrat-hasrat kemanusiaanmu. Berpuasalah. Kuat?”
”Kuat, Eyang. Saya ini terlatih menderita.”
Mendadak
Tubuh Murwad terpental. Melenting ke udara. Melayang. Ia kaget.
Tiba-tiba ia berada di sel penjara. Ia pukuli jeruji sel itu dengan
piring seng. Seorang sipir datang. Matanya melotot. Murwad mengamati
kaki sipir itu yang menapak di lantai. Ia pun yakin, dirinya masih hidup
di dunia nyata.
”Dengan berubahnya Pasar Kliwon menjadi
Kliwon Plaza maka masa depan itu kini ada dalam genggaman kita. Dinamika
ekonomi kota ini akan terus meningkat dengan semakin banyaknya orang
belanja.” Wajah Wali Kota Bragalba menyala. Orang-orang tepuk tangan.
Ratusan blitz menghujani wajahnya.
”Masyarakat yang suka berbelanja adalah masyarakat yang makmur!” Bragalba mengunci pidatonya.
Tepuk
tangan kembali membahana. Bragalba menekan tombol sirene. Kliwon Plaza
resmi dibuka. Ia pun turun panggung. Para wartawan langsung menyerbunya.
”Apa benar, Pasar Kliwon sekarang dihuni Genderuwo?” tanya seorang wartawan.
”No comment. Maaf. Saya hanya menjawab pertanyaan yang rasional. Saya tidak percaya hantu.”
”Tapi masyarakat sangat percaya soal Genderuwo itu.”
”Itu mitos. Itu dongeng!”
”Saudara tahu, kenapa saudara ditahan di sini?” ujar seorang pemeriksa dengan ramah.
Murwad terdiam. Kepalanya terasa pusing diterpa lampu sangat terang.
”Tahu alasannya saudara ditahan?!”
”Tidak. Saya hanya melihat pasar itu tiba-tiba terbakar.”
”Bagus. Berarti saudara ada di lokasi ketika itu.”
”Iya. Tapi, saya hanya tukang sapu.”
”Itu tidak penting. Yang penting, saudara mengakui ada di lokasi.”
”Apa tujuan saudara membakar pasar itu?” tanya pemeriksa yang lain.
”Maaf Pak. Kenapa pertanyaan Bapak aneh? Saya tidak membakar.”
”Akui saja. Hukuman saudara akan ringan.”
”Tapi saya tidak membakar. Tidak, Pak. Tidak.”
”Saudara sakit. Saudara perlu dokter.”
Beberapa sosok meninggalkan ruangan. Dua petugas menggelandang Murwad menuju sel tahanan.
Sumbi
mengambil bubur gula jawa yang tadi pagi ditaruhnya di meja dan
menggantinya dengan bubur yang baru, yang masih hangat. Ia berharap,
Murwad segera menikmatinya. Lahap. Seperti biasanya. Agar ia tetap
sehat. Dan bisa cepat pulang. Bayangan wajah Murwad melekat di hamparan
bubur panas. Sumbi melihat, Murwad sangat menikmati bubur itu.
Di
sel tahanan, sudah lebih seminggu Murwad tidak mau makan. Makanan itu
dibiarkan saja dirubung lalat. Ia merasakan tubuhnya lemas dan panas.
Namun, semangatnya tetap tinggi untuk tidak menyerah. Para sipir selalu
membujuknya untuk mau makan. Namun selalu ditolaknya.
Pada hari
kesebelas, Murwad merasakan tubuhnya ringan. Melayang. Memasuki
lapisan-lapisan cahaya. Ia melihat Eyang Dono Driyah duduk mengambang di
antara dinding-dinding cahaya.
”Eyang.....aku melihat Pasar
Kliwon berubah jadi bangunan megah dan indah. Penuh cahaya. Tapi Eyang,
aku melihat sosok hitam besar sekali. Ya, dia duduk di sana,” mata
Murwad terpejam.
”Ya, itulah Genderuwo penguasa pasar!”
”Aduh eyang, mataku tidak kuat. Pandanganku jadi gelap.”
”Dia memang sakti sekaligus ganas! Hati-hati. Sekarang lihatlah lagi. Genderuwo itu masih di sana?”
”Masih....;
Dia menggerakkan tangannya. Tidak hanya dua, tapi banyak sekali.
Tangan-tangan itu berubah jadi belalai panjang dan besar. Ya, ampun
pasar itu dibelitnya. Gumpalan-gumpalan uang itu dihisapnya.”
”Dia lebih dari rakus....”
”Genderuwo
itu menoleh, Eyang. Dia menatapku. Matanya hijau bikin silau.
Gigi-giginya gemeretak. Taring-taringnya berkilat-kilat.
”Eyangggggg!!!!!!”
Tubuh Murwad tumbang.
Murwad membuka mata. Pelan-pelan. Ia melihat ruangan yang asing. Serba putih. Bersih. Selang-selang infus menancap di lengannya.
Seorang
perawat tersenyum kepadanya. Murwad ketakutan. Ia melihat wajah hitam
berbulu kasar, dengan tatapan mata hijau tajam, dengan mulut yang
menyeringai, dengan taring-taring tajam penuh bercak darah.
Mata
Murwad terbelalak. Kedua tangannya seperti menahan tangan-tangan lain
yang mencekik lehernya. Murwad terus meronta. Tubuhnya mengejang.
Napasnya terasa berhenti. Tangan-tangan itu terlalu kuat untuk ditahan.
Sumbi,
dengan takzim, menaruh bubur gula jawa yang masih panas itu di meja.
Tangannya mendadak gemetar. Piring itu terlepas. Bubur itu tumpah. Ia
tak melihat lagi wajah suaminya dalam hamparan bubur....